Seri 2: "Identity" (Fukuyama, 2018) dan "When Violence Works" (Barron, 2019) - Fri, 12/06/20

 


"Demokrasi Liberal sedang Mengalami Pembusukan"
Jumat 12/06/20 sore digelar bedah buku ke-2 Aksi Literasi via zoom. Ada dua buku yang dibahas. Pertama, buku Francis Fukuyama, berjudul "Identity: Demand for Dignity and Politics of Resentment". Pemaparnya: Eko Sulistyo, seorang sejarawan yang menjadi Deputy di KSP (2015-2019).
Demokrasi di ujung tanduk seiring menguatnya politik identitas di seluruh belahan dunia. Nasionalisme sempit ini menurut Fukuyama akan merusak demokrasi itu sendiri. Kelompok dan para pemimpin populist tidak percaya dengan institusi dan nilai-nilai demokrasi, akan tetapi mereka menggunakan mekanisme demokrasi untuk konsolidasi kekuatan. Mereka menjual isu-isu identitas primordial sempit. Cukup efektif. Banyak yang sudah terpilih sebagai kepala negara dengan jualan politik identitas itu.


Fukuyama melihat hal ini karena demokrasi belum mampu menjawab secara sempurna apa yang disebutnya dengan problem of thymos, dimana semua orang ingin direkognisi. Rezim demokrasi belum bisa menjamin secara sempurna bahwa tidak ada orang/kelompok yang termarjinalkan dan diperlakukan berbeda.
Hal ini menjadi menarik karena tesis yang dibuat oleh Fukuyama dalam buku baru ini seperti mengoreksi pandangannya yang sangat optimis tentang demokrasi liberal dalam karya lamanya yang sangat fenomenal "The End of History and the Last Man (1992). Jika pada buku lama pengarang seperti merayakan demokrasi liberal sebagai pilihan terbaik untuk menata kehidupan politik dan sosial, maka dalam buku ini pengarang merasa sedikit "pesimis" terhadap sistem demokrasi.

Demokrasi sedang sakit dan ada "kemungkinan" akan membusuk jika tidak diselesaikan dari akarnya. Akarnya adalah semua orang/kelompok perlu rekognisi dan pengakuan.


Buku kedua, karya Patrick Barron: "When Violence Work: Postconflict Violence and Peace in Indonesia", dibahas oleh Prof. Zulfan Tadjoeddin (Ac/Prof di Western Sydney University). Buku ini sudah direview secara komprehensif oleh Prof. Zulfan. Silahkan dibaca sebagai pengantar diskusi seperti dalam link berikut.


Intinya Barron menjelaskan bagaimana dinamika Post-conflict violence di Indonesia dengan melihat configurasi tiga aktor (individu, elit lokal dan elit national). Memahami faktor yang memicu konflik dan paska konflik bisa bermanfaat untuk mengantisipasi konflik di masa depan. Ini juga termasuk gesekan akibat politik identitas, yang seringkali terjadi karena politik identitas menjadi politik yang sempit. Ada ajakan Prof Zulfan untuk melihat kembali pertentangan kelas yang menjadi inti sesungguhnya, dibandingkan menonjolkan politik identitas.



Sumber: Irwandi Maek dan Swary Utami Dewi

Comments